Tahun ini, Indonesia telah usai menggelar hajatan lima tahunan, pesta demokrasi untuk menentukan sosok pemimpin tertinggi di negeri ini. Meskipun proses penghitungan suara secara resmi masih belum usai dan baru akan diumumkan pada bulan Maret mendatang, namun hasil hitung cepat atau quick count yang dirilis oleh berbagai lembaga survei telah menampilkan hasilnya.
Dari tiga pasang calon presiden dan wakil presiden yang terdaftar sebagai kontestan, Paslon dengan nomor urut 02 Prabowo-Gibran dinyatakan sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara yang cukup mutlak dan pilpres cukup dilakukan satu putaran.
Seperti yang sering terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya, mesti ditemui pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan hasil pemilu dan menarasikan adanya proses demokrasi yang tidak berintegritas dan sarat akan kecurangan. Lumrahnya, narasi semacam ini dikembangkan oleh pihak yang dinyatakan kalah dalam kontestasi. Pun demikian kita lihat pada pilpres kali ini.
Tidak hanya terjadi di Indonesia, munculnya narasi kecurangan dalam pemilu juga kerap ditemui di negara-negara lain. Bahkan negara sekelas Amerika, yang indeks demokrasinya lebih tinggi dari Indonesia, klaim kecurangan pemilu juga terjadi, seperti pada pemilu presiden Amerika tahun 2020 yang memunculkan tuduhan kecurangan pada proses penghitungan suara dan penggunaan mesin pemilu.
Pertanyaan yang menarik, mengapa fenomena semacam itu kerap muncul dalam setiap kontestasi politik, khususnya dengan sistem pemilihan langsung ?
Menurut saya, ada beberapa alasan mengapa fenomena semacam ini bisa terjadi dan terus berulang:
Pertama, faktor psikologis. Pihak yang kalah mungkin merasa tidak puas, frustrasi, atau marah dengan hasil pemilu yang di luar ekspektasi. Kondisi psikis semacam ini kadang menimbulkan sikap sulit untuk mengakui kekalahan dan mudah mencari-cari alasan untuk membenarkan sikap mereka. Sehingga, rentan memunculkan sikap cenderung menyalahkan pihak lain atau sistem pemilu yang dianggap tidak adil, tidak transparan dan merugikan kelompok mereka.
Kedua, faktor politis. Terkadang juga ditemukan motif politik tertentu untuk menyebarluaskan narasi kecurangan pemilu. Misalnya, untuk menggoyang legitimasi pihak yang menang, untuk mempertahankan basis pendukung mereka, atau bahkan untuk menyiapkan strategi pemilu berikutnya. Penyebaran narasi semacam ini bisa jadi juga sebagai upaya mempengaruhi opini publik atau mengajukan gugatan hukum dalam bentuk class action terkait hasil pemilu.
Ketiga faktor teknis. Munculnya fenomena ini juga sangat dimungkinkan berkat adanya indikasi atau bukti kecurangan pemilu yang nyata, seperti manipulasi data, pelanggaran prosedur, intimidasi pemilih, atau penggunaan sumber daya negara oleh pihak yang menang . Mereka mungkin merasa perlu untuk melaporkan atau mengekspos kecurangan tersebut agar dapat ditindaklanjuti oleh penyelenggara atau pengawas pemilu.
Namun demikian perlu juga diperhatikan, adanya narasi kecurangan pemilu tidak selalu berdasarkan fakta atau bukti yang kuat. Bisa jadi, narasi tersebut hanya berdasarkan asumsi, spekulasi, atau informasi yang salah atau tidak lengkap. Oleh karena itu, selalu diperlukan nalar kritis dan berhati-hati dalam menerima atau menyebarkan narasi kecurangan pemilu.
Sebagai warga negara yang baik, kita juga harus menghormati proses demokrasi yang telah dijalankan oleh para penyelenggara dan menghargai hak-hak konstitusional setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.
Siapa pun nanti yang akan ditetapkan sebagai pemenang pilpres di 2024 ini, itulah presiden dan pemimpin kita di negeri yang kita cintai ini.
***
Oleh: Buhori, mahasiswa doktoral Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co
Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah bahasa dan filosofi opini.co