Notification

×

Iklan

Iklan

Jalan Hijas Pontianak dan Warung Kopi yang Tak Pernah Sepi

Senin, 15 Juli 2024 | 14.59 WIB Last Updated 2024-08-04T15:58:44Z

Suasana Jalan Hijas di malam hari (foto:Sutriyadi)

Menurut catatan sejarah, Pontianak berdiri pada 23 Oktober 1771 Masehi. Awalnya, daerah itu merupakan hutan dan rimba. Kemudian Syarif Abdurrahman Alkadrie (pendiri dan sultan pertama kerajaan Pontianak) beserta rombongan membuka lahan dan hutan di persimpangan tiga sungai. Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas, untuk mendirikan balai, rumah, dan masjid sebagai tempat tinggal yang kemudian lokasi tersebut diberi nama Pontianak.

Kini, Kota Khatulistiwa itu telah menjadi pemukiman yang padat merayap. Selain sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak juga menjadi pusat belanja dan ekonomi daerah. Sehingga memiliki daya tarik yang kuat bagi para pelancong dan pekerja dari berbagai kabupaten kota di Indonesia. 


Dalam perkembangannya, modernitas belum seutuhnya mendominasi pasar tradisonal. Dapat dilihat, setiap sudut dan gang-gang kecil menyuguhkan secangkir kopi. Warung kopi nangkring di mana-mana. Menjamur, hingga dijuluki sebagai kota seribu warkop. Para pecandu kopi memilih menyeduhnya langsung saat masih panas dari gelas beling yang memiliki warna khas putih telur asin daripada memesan dari rumah melalui aplikasi yang serba canggih. 


Di seberang keraton, tepatnya di Kelurahan Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Selatan, Kota Pontianak, terdapat nama jalan, Hijas. Jalan yang memiliki panjang kurang lebih 450 meter itu baik sisi kanan maupun kiri, setiap ruko menyuguhkan menu kopi. Hampir tidak ditemukan kursi tanpa bokong pengunjung. Terlebih pada malam Minggu. Dari yang bermerek hingga warkop tanpa nama, semua tetap memiliki pelanggan yang setia.


Terkadang, jalan yang menghubungkan antara Jalan Gajah Mada dengan Jalan Tanjung Pura itu tampak seperti ruang pembagian sembako. Pemburu rasa kopi membeludak hingga ke jalan-jalan. Hanya dengan segelas kopi, kota itu tak pernah mati. Pengunjung silih berganti dari pagi hingga malam hari.


Mungkin penulis tidak akan menggambarkan bagaimana rasa kopi di Jalan Hijas. Dengan pengunjung sebanyak itu, pembaca akan memberikan nilai sendiri tanpa diminta. Hampir semua rasa kopinya sama, robusta dengan beberapa tambahan varian. Dilengkapi dengan berbagai macam makanan ringan hingga yang berat-berat. Dari ubi goreng hingga roti canai. Meski tidak semua warkop menyediakan menu pilihan, namun kita bisa memilih warkop sesuai kebutuhan. Yang pasti rasa kopi tidak pernah bohong.


Cuaca yang sedikit panas dibanding kota lain membuat rasa kopi tambah lebih nikmat. Kawula muda, bapak-bapak pulang kerja, pejabat daerah bahkan menteri dan presiden sempat mampir di Jalan Hijas untuk melepas lelah dan mengisi ruang publik dengan diskusi ringan, menonton bola hingga sekadar datang untuk mengusir sunyi.


Jangan khawatir, kalian yang datang pagi hari pun, telah disambut lengkap dengan menu sarapan, daging bakar alias sate, soto, pisang goreng, nasi kuning, hingga bubur khas Kalbar dari yang halal hingga yang non halal. Bisa kita nikmati sesuai selera dan sesuai isi dompet. Soal harga tetap standar UMR. Tidak akan membuat gaduh keuangan kalian. Lalu, nikmat apa lagi yang tidak ada di Jalan Hijas?


Jalan Hijas dengan segala kesibukan yang tak pernah henti, ia tetap menyediakan kursi kosong untuk siapa pun sepanjang waktu siang dan malam selama 24 jam. Dini hari, pemandangan gang ini makin kuat dengan nilai sejarah. Arsitektur dan warna cat bangunan yang berdesakan tampak masih kuno memanjakan mata untuk mengembalikan ingatan pada tempo dulu.


Latar belakang pengunjung pun bermacam-macam, suku, agama, status sosial dan pendidikan, semua menyatu oleh secangkir kopi. Kita bisa melihat Indonesia dari jarak yang paling dekat, Jalan Hijas! Sekali lagi, soal warkop, marwah Jalan Hijas tetap mendominasi di kota ini. Yuk, ngopi di Hijas.

 

×
Berita Terbaru Update