Ditulis oleh Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. (Dok. Istimewa) |
Ketika insiden Gus Miftah (GM) yang dianggap
melecehkan penjual es teh dengan kata
“goblok” nya viral di media sosial, situasi tersebut langsung menuai reaksi
keras dari netizen. GM menuai kritik tajam dan hujatan,
sementara penjual es teh justru mendapat simpati yang luar biasa. Peristiwa ini
mengingatkan saya pada syair Al-Mutanabbi, yang relevan menggambarkan bagaimana
situasi sulit seseorang dapat menjadi berkah bagi orang lain.
Ucapan GM yang dianggap kasar kepada
penjual es teh, meskipun berniat bercanda, memunculkan musibah bagi dirinya
sendiri. Ia dihujat habis-habisan oleh netizen, reputasinya sebagai seorang
penceramah ternama turut dipertaruhkan. Bahkan ia “terpaksa” mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai utusan khusus Presiden bidang Kerukunan Beragama dan
Pembinaan Sarana Keagamaan. Sehingga ia menjadi pejabat setingkat menteri yang
pertama kali mengundurkan diri dari kabinet Prabowo. Tentu musibah ini menjadi
pukulan berat, baik secara personal maupun profesional.
Sementara di pihak lain, insiden ini justru
membawa keuntungan bagi penjual es teh. Ia memperoleh simpati luas dari
masyarakat, banyak pihak yang akan memberangkatkannya umrah, memberikan beasiswa bagi anak-anaknya, bahkan
akan membangunkan rumah dan tempat usaha dekat rumahnya. Solidaritas netizen
terhadapnya menciptakan momentum positif, baik secara moral maupun ekonomi, dan
menjadi keberkahan tersendiri bagi dirinya.
Tak terkecuali, netizen dan media sosial
juga diuntungkan dari kasus ini. Kontroversi ini menjadi bahan diskusi panas
yang meningkatkan interaksi, klik, dan pembicaraan. Media-media daring
mendapatkan perhatian besar karena menyajikan berita yang viral ini.
Kasus ini mencerminkan bagaimana situasi
negatif bagi satu pihak dapat menjadi peluang positif bagi pihak lain. Fenomena
seperti ini sering terjadi dalam dinamika sosial, terutama di era media sosial,
di mana simpati publik dapat berpindah dengan cepat dan sering kali membawa
dampak besar bagi pihak yang terlibat. Ini betul-betul menjadi contoh nya; "one
man's loss is another man's gain”. Kerugian seseorang kadang menjadi
keuntungan bagi orang lain.
Teori Interaksi Simbolik (George Herbert
Mead)
Dalam hal ini, saya tidak berniat
memberikan penilaian apalagi penghakiman kepada pihak-pihak yang terlibat. Saya
lebih tertarik untuk memahami “kegaduhan” ini melalui perspektif teori
interaksi simbolik. Kata sederhana seperti "goblok", yang
dilontarkan oleh Gus Miftah dengan maksud candaan, ternyata memiliki "daya
ledak" yang luar biasa. Bagaimana makna kata ini, yang dibentuk dan
ditafsirkan dalam interaksi sosial, mampu memicu gelombang reaksi, dari kritik
tajam hingga simpati besar, dan bagaimana simbol verbal bisa menjadi pemicu
dinamika sosial yang kompleks ?.
Teori interaksi simbolik merupakan salah satu pendekatan dalam sosiologi yang menekankan pentingnya
simbol-simbol dan interaksi sosial dalam membentuk makna, identitas, dan
perilaku manusia. Teori ini diperkenalkan oleh George
Herbert Mead, seorang sosiolog dan tokoh filsafat dari Amerika Serikat.
Teori ini menjelaskan jika pikiran manusia, pada dasarnya,
bisa mengartikan atau menafsirkan sesuatu.
Dalam buku Introducing Communication
Theory (2007), Richard West dan Lynn H. Turner menjelaskan bahwa teori
interaksi simbolik berlandaskan beberapa asumsi mendasar. Teori ini memandang
bahwa manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang mereka
berikan, dan makna tersebut tercipta melalui interaksi antarmanusia. Selain
itu, makna bukanlah sesuatu yang statis; ia dapat terus berubah melalui proses
interpretasi. Individu mengembangkan
konsep diri melalui interaksi sosial, di mana konsep diri ini menjadi pendorong
utama dalam berperilaku. Dalam konteks yang lebih luas, perilaku individu dan
kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya. Struktur sosial sendiri
dianggap sebagai hasil dari rangkaian interaksi sosial yang terus berlangsung,
menjadikan hubungan manusia sebagai inti dari pembentukan makna dan
identitas.
Agar tidak bingung dengan konsep teori di
atas, berikut saya coba aplikasikan cara kerja teori ini dengan objek kata
“goblok” seperti yang di’guyon’kan GM kepada penjual es teh.
Dalam interaksi simbolik, kata "goblok" adalah simbol
verbal yang memiliki makna bergantung pada konteks sosial. Secara leksikal kata
ini berarti bodoh sekali. Kata ini pemaknaannya identik dengan kata bebal,
dongok, dungu, jahil dan lain sebagainya, yang kesemuanya berkonotasi negatif. GM mungkin
memaknai kata tersebut sebagai candaan ringan yang biasa ia pergunakan bersama kawan dekat atau kolega, dan kali ini
ia gunakan dalam interaksi langsung dengan penjual es teh. Audiens dan
publik sebagai masyarakat sosial yang menyaksikan dari luar konteks tersebut memberikan makna yang
berbeda, yakni sebagai bentuk penghinaan atau merendahkan, sebagaimana konotasi dari kata tersebut. Perbedaan persepsi ini menciptakan gesekan
karena tidak ada kesepahaman makna antara pengirim (Gus Miftah) dan penerima
(penjual es teh dan masyarakat)
Teori ini juga menekankan
bahwa makna kata terbentuk melalui interaksi. Dalam konteks GM VS penjual es
teh, andaikan terjadi interaksi langsung, bukan di ruang publik, ada
kemungkinan penjual es teh memahami konteks candaan tersebut dan tidak merasa
terhina. Namun, ketika interaksi ini dipindahkan ke ruang publik (di depan
jamaah dan media sosial), maka persepsi publik dihasilkan dari interpretasi
mereka sendiri terhadap simbol "goblok", terlepas dari
niat awal Gus Miftah.
Makna simbolik kata "goblok"
terus berkembang melalui proses interpretasi publik. Dalam hal ini, audiens
menafsirkan kata tersebut berdasarkan norma sosial, budaya, dan ekspektasi
terhadap seorang tokoh agama seperti GM. Publik beranggapan bahwa
penggunaan kata tersebut jauh dari kata layak dan tidak pantas
dalam konteks religius dan sosial,
sehingga memperkuat persepsi negatif. Interpretasi publik ini berdasarkan pengalaman dan norma sosial yang
ada. Dalam budaya Indonesia, kata ini lazimnya memiliki konotasi merendahkan,
sehingga dianggap tidak pantas diucapkan, apalagi oleh tokoh agama. GM boleh
saja memiliki interpretasi yang berbeda terhadap penggunaan kata tersebut dalam
konteks informal, akan tetapi dalam konteks formal, interpretasi personal dikalahkan
oleh interpretasi komunal.
Menurut teori ini, individu
membangun konsep diri melalui interaksi sosial. Dalam kasus ini, Gus Miftah
sebagai figur publik mengalami pergeseran citra diri di mata publik akibat
reaksi sosial. Publik yang merasa kata "goblok" tidak
mencerminkan perilaku seorang tokoh agama mulai mempertanyakan otoritas
moralnya, sementara penjual es teh justru mendapatkan simpati dan dukungan. Reaksi publik juga dipengaruhi oleh norma budaya dan struktur
sosial yang berlaku. Kata "goblok" mungkin dianggap
ofensif dalam budaya tertentu, terutama jika diucapkan dalam situasi formal
atau oleh seseorang yang memiliki posisi otoritas, namun dapat juga memiliki
konotasi yang berbeda jika dalam konteks dan budaya yang berbeda. Hal ini menunjukkan bagaimana proses sosial
dan budaya dapat memengaruhi interpretasi simbol.
Last but not least, kasus ini
menegaskan bahwa dalam komunikasi simbolik, penting untuk memahami bagaimana
simbol-simbol yang digunakan dapat memiliki "daya ledak" sosial
ketika melibatkan interpretasi publik yang beragam, terutama di era media
sosial. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi
semua pihak agar sebelum berbicara atau bertindak, pahami dan pertimbangkan
latar belakang, budaya, dan nilai-nilai audiens. Apa yang dianggap wajar atau
lucu dalam satu konteks mungkin dianggap tidak pantas di konteks lain. Think today and speak tomorrow.
*Oleh: Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
*Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co
*Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co