Notification

×

Iklan

Iklan

Olokan "Goblok" Gus Miftah dalam Tinjauan Teori Interaksi Simbolik

Minggu, 08 Desember 2024 | 12.56 WIB Last Updated 2024-12-08T06:15:30Z

Ditulis oleh Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. (Dok. Istimewa)
OPINI.CO, KALBAR - Abu Al-Thayyib al-Mutanabbi (915-965), penyair Arab terkenal asal Kufah, pernah menggubah sebuah syair yang mengandung pesan mendalam; “Mashā`ibu Qaumin `inda Qaumin Fawā`idu”.  Musibah pada satu kalangan, dapat menjadi keuntungan pada kalangan lain, kesulitan satu pihak, rezeki di pihak lain.

 

Ketika insiden Gus Miftah (GM) yang dianggap melecehkan penjual es teh dengan kata “goblok” nya viral di media sosial, situasi tersebut langsung menuai reaksi keras dari netizen. GM menuai kritik tajam dan hujatan, sementara penjual es teh justru mendapat simpati yang luar biasa. Peristiwa ini mengingatkan saya pada syair Al-Mutanabbi, yang relevan menggambarkan bagaimana situasi sulit seseorang dapat menjadi berkah bagi orang lain.

 

Ucapan GM yang dianggap kasar kepada penjual es teh, meskipun berniat bercanda, memunculkan musibah bagi dirinya sendiri. Ia dihujat habis-habisan oleh netizen, reputasinya sebagai seorang penceramah ternama turut dipertaruhkan. Bahkan ia “terpaksa” mengundurkan diri dari jabatannya sebagai utusan khusus Presiden bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Sehingga ia menjadi pejabat setingkat menteri yang pertama kali mengundurkan diri dari kabinet Prabowo. Tentu musibah ini menjadi pukulan berat, baik secara personal maupun profesional.

 

Sementara di pihak lain, insiden ini justru membawa keuntungan bagi penjual es teh. Ia memperoleh simpati luas dari masyarakat, banyak pihak yang akan memberangkatkannya  umrah, memberikan beasiswa bagi anak-anaknya, bahkan akan membangunkan rumah dan tempat usaha dekat rumahnya. Solidaritas netizen terhadapnya menciptakan momentum positif, baik secara moral maupun ekonomi, dan menjadi keberkahan tersendiri bagi dirinya.

 

Tak terkecuali, netizen dan media sosial juga diuntungkan dari kasus ini. Kontroversi ini menjadi bahan diskusi panas yang meningkatkan interaksi, klik, dan pembicaraan. Media-media daring mendapatkan perhatian besar karena menyajikan berita yang viral ini.

 

Kasus ini mencerminkan bagaimana situasi negatif bagi satu pihak dapat menjadi peluang positif bagi pihak lain. Fenomena seperti ini sering terjadi dalam dinamika sosial, terutama di era media sosial, di mana simpati publik dapat berpindah dengan cepat dan sering kali membawa dampak besar bagi pihak yang terlibat. Ini betul-betul menjadi contoh nya; "one man's loss is another man's gain”. Kerugian seseorang kadang menjadi keuntungan bagi orang lain.

 

Teori Interaksi Simbolik (George Herbert Mead)

Dalam hal ini, saya tidak berniat memberikan penilaian apalagi penghakiman kepada pihak-pihak yang terlibat. Saya lebih tertarik untuk memahami “kegaduhan” ini melalui perspektif teori interaksi simbolik. Kata sederhana seperti "goblok", yang dilontarkan oleh Gus Miftah dengan maksud candaan, ternyata memiliki "daya ledak" yang luar biasa. Bagaimana makna kata ini, yang dibentuk dan ditafsirkan dalam interaksi sosial, mampu memicu gelombang reaksi, dari kritik tajam hingga simpati besar, dan bagaimana simbol verbal bisa menjadi pemicu dinamika sosial yang kompleks ?.

 

Teori interaksi simbolik merupakan salah satu pendekatan dalam sosiologi yang menekankan pentingnya simbol-simbol dan interaksi sosial dalam membentuk makna, identitas, dan perilaku manusia. Teori ini diperkenalkan oleh George Herbert Mead, seorang sosiolog dan tokoh filsafat dari Amerika Serikat. Teori ini menjelaskan jika pikiran manusia, pada dasarnya, bisa mengartikan atau menafsirkan sesuatu

 

Dalam buku Introducing Communication Theory (2007), Richard West dan Lynn H. Turner menjelaskan bahwa teori interaksi simbolik berlandaskan beberapa asumsi mendasar. Teori ini memandang bahwa manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang mereka berikan, dan makna tersebut tercipta melalui interaksi antarmanusia. Selain itu, makna bukanlah sesuatu yang statis; ia dapat terus berubah melalui proses interpretasi.  Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi sosial, di mana konsep diri ini menjadi pendorong utama dalam berperilaku. Dalam konteks yang lebih luas, perilaku individu dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya. Struktur sosial sendiri dianggap sebagai hasil dari rangkaian interaksi sosial yang terus berlangsung, menjadikan hubungan manusia sebagai inti dari pembentukan makna dan identitas. 

 

Agar tidak bingung dengan konsep teori di atas, berikut saya coba aplikasikan cara kerja teori ini dengan objek kata “goblok” seperti yang di’guyon’kan GM kepada penjual es teh.

 

Dalam interaksi simbolik, kata "goblok" adalah simbol verbal yang memiliki makna bergantung pada konteks sosial. Secara leksikal kata ini berarti bodoh sekali. Kata ini pemaknaannya identik dengan kata bebal, dongok, dungu, jahil dan lain sebagainya, yang kesemuanya berkonotasi negatif. GM mungkin memaknai kata tersebut sebagai candaan ringan yang biasa ia pergunakan bersama kawan dekat atau kolega, dan kali ini ia gunakan dalam interaksi langsung dengan penjual es teh. Audiens dan publik sebagai masyarakat sosial yang menyaksikan dari luar konteks tersebut memberikan makna yang berbeda, yakni sebagai bentuk penghinaan atau merendahkan, sebagaimana konotasi dari kata tersebut. Perbedaan persepsi ini menciptakan gesekan karena tidak ada kesepahaman makna antara pengirim (Gus Miftah) dan penerima (penjual es teh dan masyarakat)

 

Teori ini juga menekankan bahwa makna kata terbentuk melalui interaksi. Dalam konteks GM VS penjual es teh, andaikan terjadi interaksi langsung, bukan di ruang publik, ada kemungkinan penjual es teh memahami konteks candaan tersebut dan tidak merasa terhina. Namun, ketika interaksi ini dipindahkan ke ruang publik (di depan jamaah dan media sosial), maka persepsi publik dihasilkan dari interpretasi mereka sendiri terhadap simbol "goblok", terlepas dari niat awal Gus Miftah.

 

Makna simbolik kata "goblok" terus berkembang melalui proses interpretasi publik. Dalam hal ini, audiens menafsirkan kata tersebut berdasarkan norma sosial, budaya, dan ekspektasi terhadap seorang tokoh agama seperti GM. Publik beranggapan bahwa penggunaan kata tersebut jauh dari kata layak  dan tidak pantas dalam konteks religius dan sosial, sehingga memperkuat persepsi negatif. Interpretasi publik ini berdasarkan pengalaman dan norma sosial yang ada. Dalam budaya Indonesia, kata ini lazimnya memiliki konotasi merendahkan, sehingga dianggap tidak pantas diucapkan, apalagi oleh tokoh agama. GM boleh saja memiliki interpretasi yang berbeda terhadap penggunaan kata tersebut dalam konteks informal, akan tetapi dalam konteks formal, interpretasi personal dikalahkan oleh interpretasi komunal.

 

Menurut teori ini, individu membangun konsep diri melalui interaksi sosial. Dalam kasus ini, Gus Miftah sebagai figur publik mengalami pergeseran citra diri di mata publik akibat reaksi sosial. Publik yang merasa kata "goblok" tidak mencerminkan perilaku seorang tokoh agama mulai mempertanyakan otoritas moralnya, sementara penjual es teh justru mendapatkan simpati dan dukunganReaksi publik juga dipengaruhi oleh norma budaya dan struktur sosial yang berlaku. Kata "goblok" mungkin dianggap ofensif dalam budaya tertentu, terutama jika diucapkan dalam situasi formal atau oleh seseorang yang memiliki posisi otoritas, namun dapat juga memiliki konotasi yang berbeda jika dalam konteks dan budaya yang berbeda.  Hal ini menunjukkan bagaimana proses sosial dan budaya dapat memengaruhi interpretasi simbol.

 

Last but not least, kasus ini menegaskan bahwa dalam komunikasi simbolik, penting untuk memahami bagaimana simbol-simbol yang digunakan dapat memiliki "daya ledak" sosial ketika melibatkan interpretasi publik yang beragam, terutama di era media sosial. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi semua pihak agar sebelum berbicara atau bertindak, pahami dan pertimbangkan latar belakang, budaya, dan nilai-nilai audiens. Apa yang dianggap wajar atau lucu dalam satu konteks mungkin dianggap tidak pantas di konteks lain. Think today and speak tomorrow.  


*Oleh: Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 

*Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co

*Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co 

×
Berita Terbaru Update