Hafina Laiyinah Febriyanti Mahasantri Ma'had Al-Jami'ah Ronggowarsito dan Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. |
Salah satu isu
utama yang sering muncul adalah adanya pemanfaatan gelar "Habib"
untuk meraih keuntungan pribadi. Beberapa oknum Habib tidak segan untuk memanfaatkan
status mereka untuk mendapatkan penghormatan berlebihan, bahkan menggunakan
posisi mereka untuk mengajak umat berziarah ke tempat-tempat tertentu dengan
dalih spiritualitas yang tidak jelas, seperti kota Tarim di Yaman, yang
dianggap "suci" oleh sebagian orang. Bahkan, tidak jarang ditemukan
tarif tinggi yang dikenakan bagi mereka yang ingin mengundang Habib untuk
memberikan ceramah atau ziarah. Padahal, dalam ajaran Islam, ilmu agama
seharusnya disebarkan dengan ikhlas, tanpa embel-embel keuntungan materi.
Nabi mengajarkan
kepada para ulama untuk tidak memberatkan urusan umatnya dalam beragama.
Karena, Islam mengajarkan kemudahan, bukan beban yang berlebihan. Tetapi,
banyak juga yang menggunakan uang tarif tersebut untuk membantu atau mendukung kajian
agama dalam bentuk tanggung jawab moral dan keikhlasan dalam berdakwah, ini
adalah langkah yang mulia dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Namun, penting
untuk diingat bahwa akuntabilitas tetap menjadi kunci agar umat tidak salah
paham. Tokoh agama memiliki tanggung jawab moral untuk menunjukkan bahwa dana
tersebut memang disalurkan untuk kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan
pribadi. Dengan transparansi, penghormatan yang diterima akan semakin bermakna
karena benar-benar kembali kepada umat. Dengan demikian, contoh seperti ini
dapat menjadi pengingat bahwa gelar atau status tidak hanya menjadi simbol
kehormatan, tetapi juga sarana untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Dakwah tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga aksi nyata dalam membantu
mereka yang membutuhkan.
Selain itu,
cerita-cerita yang beredar tentang Habib sering kali melibatkan hal-hal yang
tidak rasional, seperti dongeng-dongeng atau kisah-kisah yang tidak terbukti
kebenarannya. Hal ini semakin memperburuk citra Habib di mata masyarakat,
terutama bagi mereka yang tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang ajaran
Islam yang murni. Sebagian besar masyarakat awam yang tidak memiliki
pengetahuan agama yang mendalam bisa saja tertipu oleh cerita-cerita ini, yang
sering kali membawa klaim tentang berkah atau mukjizat yang tidak dapat
dibuktikan secara ilmiah.
Imam Al-Ghazali mengatakan” Ilmu tanpa amal
adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Kata-kata bijak ini
mengajarkan pentingnya ilmu yang diamalkan dengan benar, bukan sekadar klaim
atau cerita kosong. Hal ini mengingatkan kita bahwa seseorang yang memiliki
gelar atau status kehormatan, seperti Habib atau ulama, tidak cukup hanya
dikenal karena ilmunya. Mereka juga harus menunjukkan akhlak mulia dan konsistensi
dalam mengamalkan ajaran Islam. Sebaliknya, umat pun perlu belajar agama dengan
ilmu yang benar agar amal mereka tidak menjadi sia-sia
Tidak hanya itu,
fenomena "jual beli sertifikat Habib" juga menjadi sorotan.
Beredarnya kabar bahwa ada oknum yang menjual gelar "Habib" atau
nasab keturunan Nabi mengundang keprihatinan. Praktik semacam ini jelas
bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan keikhlasan dan ketulusan
dalam beragama, bukan untuk kepentingan materi atau status.
Namun, meskipun
ada banyak hal yang perlu diperbaiki, kita juga harus mengingat pentingnya
husnudzon (berbaik sangka) terhadap setiap individu, termasuk Habib.
Sebagaimana yang disampaikan oleh KH Maimun Zubair, "Zaman akhir akan ada
polemik adu domba antara Habib dan Kiai, dan kamu itu jangan ikut-ikut."
Ini mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam perselisihan yang tidak
produktif dan untuk tetap menjaga persatuan umat.
Sebagai umat
Islam, kita perlu untuk tetap berpegang pada ajaran yang benar, menghormati
para ulama dan keturunan Nabi dengan cara yang sewajarnya, dan tidak membiarkan
diri kita tertipu oleh oknum-oknum yang memanfaatkan gelar dan kedudukan mereka
untuk keuntungan pribadi. Mencintai Habib dan kiai harus dilakukan dengan penuh
rasa hormat, tetapi tanpa berlebihan, dan lebih penting lagi, tanpa membenarkan
perilaku yang menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sebagai umat
Islam, kita diajarkan untuk bersikap dengan bijak dalam menyikapi segala hal, termasuk
dalam menghormati keturunan Nabi dan tokoh agama. Penghormatan haruslah
diberikan berdasarkan keteladanan akhlak dan kontribusi nyata, bukan sekadar
gelar atau status yang dimiliki. Di sisi lain, kita juga perlu meningkatkan
literasi agama agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak berdasar.
Akhirnya,
marilah kita menjadikan ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman utama dalam
kehidupan. Seperti yang beliau sabdakan:
"Aku tidak
diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."(HR. Bukhari)
Penghormatan
yang tulus kepada Habib, ulama, atau siapa pun tidak hanya terlihat dari sikap
kita terhadap mereka, tetapi juga dari usaha kita untuk meneladani akhlak
Rasulullah SAW. Dengan begitu, kita bisa bersama-sama membangun umat yang tidak
hanya berpegang pada simbol, tetapi juga menghidupkan esensi Islam yang
rahmatan lil ‘alamin.
Di zaman yang
penuh tantangan ini, menjaga persatuan umat sangatlah penting. Jangan biarkan
perbedaan dan polemik menghalangi kita untuk terus berpegang pada prinsip-prinsip
Islam yang sebenarnya. Kita harus berusaha untuk hidup sesuai dengan ajaran
Nabi Muhammad SAW, yang selalu mengajarkan kita untuk berbuat baik, menjaga
akhlak, dan memberi manfaat kepada sesama.Dengan menjaga prinsip ini, kita
dapat menciptakan masyarakat yang lebih baik, lebih saling menghargai, dan
lebih dekat dengan ajaran Islam yang benar, yang membawa kita pada kehidupan
yang penuh berkah dan kedamaian.
Di dunia yang
penuh dengan godaan dan perpecahan ini, mari kita jadikan akhlak mulia dan ketulusan
sebagai standar utama dalam beragama. Jangan biarkan gelar atau status menutupi
esensi ajaran Islam yang sesungguhnya. Bersama, kita bisa membangun umat yang
bukan hanya terhormat, tetapi juga penuh berkah, dengan ilmu yang benar, amal
yang ikhlas, dan hati yang tulus.
*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.
*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com
*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co