Notification

×

Iklan

Iklan

Antara Penghormatan dan Pemanfaatan Gelar Habib

Rabu, 22 Januari 2025 | 08.26 WIB Last Updated 2025-01-22T04:14:59Z

Hafina Laiyinah Febriyanti Mahasantri Ma'had Al-Jami'ah Ronggowarsito dan Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta.
OPINI.CO, SURAKARTA - Nasab atau garis keturunan Nabi Muhammad SAW seringkali menjadi simbol kehormatan dan keistimewaan bagi sebagian kalangan, terutama bagi mereka yang mengaku sebagai keturunan beliau, yang dikenal dengan sebutan "Habib." Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai polemik terkait dengan perilaku segelintir oknum Habib yang diragukan kesesuaian tindakan mereka dengan ajaran Nabi. Hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia, di mana gelar "Habib" sering kali dihormati secara berlebihan.

 

Salah satu isu utama yang sering muncul adalah adanya pemanfaatan gelar "Habib" untuk meraih keuntungan pribadi. Beberapa oknum Habib tidak segan untuk memanfaatkan status mereka untuk mendapatkan penghormatan berlebihan, bahkan menggunakan posisi mereka untuk mengajak umat berziarah ke tempat-tempat tertentu dengan dalih spiritualitas yang tidak jelas, seperti kota Tarim di Yaman, yang dianggap "suci" oleh sebagian orang. Bahkan, tidak jarang ditemukan tarif tinggi yang dikenakan bagi mereka yang ingin mengundang Habib untuk memberikan ceramah atau ziarah. Padahal, dalam ajaran Islam, ilmu agama seharusnya disebarkan dengan ikhlas, tanpa embel-embel keuntungan materi.

 

Nabi mengajarkan kepada para ulama untuk tidak memberatkan urusan umatnya dalam beragama. Karena, Islam mengajarkan kemudahan, bukan beban yang berlebihan. Tetapi, banyak juga yang menggunakan uang tarif tersebut untuk membantu atau mendukung kajian agama dalam bentuk tanggung jawab moral dan keikhlasan dalam berdakwah, ini adalah langkah yang mulia dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.

 

Namun, penting untuk diingat bahwa akuntabilitas tetap menjadi kunci agar umat tidak salah paham. Tokoh agama memiliki tanggung jawab moral untuk menunjukkan bahwa dana tersebut memang disalurkan untuk kebaikan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi. Dengan transparansi, penghormatan yang diterima akan semakin bermakna karena benar-benar kembali kepada umat. Dengan demikian, contoh seperti ini dapat menjadi pengingat bahwa gelar atau status tidak hanya menjadi simbol kehormatan, tetapi juga sarana untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Dakwah tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga aksi nyata dalam membantu mereka yang membutuhkan.

 

Selain itu, cerita-cerita yang beredar tentang Habib sering kali melibatkan hal-hal yang tidak rasional, seperti dongeng-dongeng atau kisah-kisah yang tidak terbukti kebenarannya. Hal ini semakin memperburuk citra Habib di mata masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang ajaran Islam yang murni. Sebagian besar masyarakat awam yang tidak memiliki pengetahuan agama yang mendalam bisa saja tertipu oleh cerita-cerita ini, yang sering kali membawa klaim tentang berkah atau mukjizat yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

 

Imam Al-Ghazali mengatakan” Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Kata-kata bijak ini mengajarkan pentingnya ilmu yang diamalkan dengan benar, bukan sekadar klaim atau cerita kosong. Hal ini mengingatkan kita bahwa seseorang yang memiliki gelar atau status kehormatan, seperti Habib atau ulama, tidak cukup hanya dikenal karena ilmunya. Mereka juga harus menunjukkan akhlak mulia dan konsistensi dalam mengamalkan ajaran Islam. Sebaliknya, umat pun perlu belajar agama dengan ilmu yang benar agar amal mereka tidak menjadi sia-sia (Al-Ghazali, 2005).

 

Tidak hanya itu, fenomena "jual beli sertifikat Habib" juga menjadi sorotan. Beredarnya kabar bahwa ada oknum yang menjual gelar "Habib" atau nasab keturunan Nabi mengundang keprihatinan. Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan keikhlasan dan ketulusan dalam beragama, bukan untuk kepentingan materi atau status.

 

Namun, meskipun ada banyak hal yang perlu diperbaiki, kita juga harus mengingat pentingnya husnudzon (berbaik sangka) terhadap setiap individu, termasuk Habib. Sebagaimana yang disampaikan oleh KH Maimun Zubair, "Zaman akhir akan ada polemik adu domba antara Habib dan Kiai, dan kamu itu jangan ikut-ikut." Ini mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam perselisihan yang tidak produktif dan untuk tetap menjaga persatuan umat.

 

Sebagai umat Islam, kita perlu untuk tetap berpegang pada ajaran yang benar, menghormati para ulama dan keturunan Nabi dengan cara yang sewajarnya, dan tidak membiarkan diri kita tertipu oleh oknum-oknum yang memanfaatkan gelar dan kedudukan mereka untuk keuntungan pribadi. Mencintai Habib dan kiai harus dilakukan dengan penuh rasa hormat, tetapi tanpa berlebihan, dan lebih penting lagi, tanpa membenarkan perilaku yang menyimpang dari ajaran Nabi Muhammad SAW.

 

Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk bersikap dengan bijak dalam menyikapi segala hal, termasuk dalam menghormati keturunan Nabi dan tokoh agama. Penghormatan haruslah diberikan berdasarkan keteladanan akhlak dan kontribusi nyata, bukan sekadar gelar atau status yang dimiliki. Di sisi lain, kita juga perlu meningkatkan literasi agama agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang tidak berdasar.

 

Akhirnya, marilah kita menjadikan ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman utama dalam kehidupan. Seperti yang beliau sabdakan:


"Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."(HR. Bukhari)

 

Penghormatan yang tulus kepada Habib, ulama, atau siapa pun tidak hanya terlihat dari sikap kita terhadap mereka, tetapi juga dari usaha kita untuk meneladani akhlak Rasulullah SAW. Dengan begitu, kita bisa bersama-sama membangun umat yang tidak hanya berpegang pada simbol, tetapi juga menghidupkan esensi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

 

Di zaman yang penuh tantangan ini, menjaga persatuan umat sangatlah penting. Jangan biarkan perbedaan dan polemik menghalangi kita untuk terus berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang sebenarnya. Kita harus berusaha untuk hidup sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, yang selalu mengajarkan kita untuk berbuat baik, menjaga akhlak, dan memberi manfaat kepada sesama.Dengan menjaga prinsip ini, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih baik, lebih saling menghargai, dan lebih dekat dengan ajaran Islam yang benar, yang membawa kita pada kehidupan yang penuh berkah dan kedamaian.

 

Di dunia yang penuh dengan godaan dan perpecahan ini, mari kita jadikan akhlak mulia dan ketulusan sebagai standar utama dalam beragama. Jangan biarkan gelar atau status menutupi esensi ajaran Islam yang sesungguhnya. Bersama, kita bisa membangun umat yang bukan hanya terhormat, tetapi juga penuh berkah, dengan ilmu yang benar, amal yang ikhlas, dan hati yang tulus.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.


*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com


*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co


*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co

×
Berita Terbaru Update