Notification

×

Iklan

Iklan

Jangan Malu! Anak Muda Pakai Sarung Tetap Keren

Sabtu, 04 Januari 2025 | 18.51 WIB Last Updated 2025-01-04T12:01:07Z

Rizki Darsono Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Pontianak
OPINI.CO, PONTIANAK - Di tengah arus modernisasi yang semakin kuat, banyak di antara kita yang sering kali merasa harus untuk mengikuti tren dan gaya hidup yang dianggap lebih "kekinian". Sehingga, tidak sedikit orang yang merasa malu untuk memakai pakaian tradisional. Salah satu pakaian tradisional yang sering kali “terpinggirkan” adalah sarung. Sarung di mata orang zaman sekarang seringkali dianggap sebagai pakaian kampungan dan kuno. 


Suatu hari, saya pergi jalan-jalan menggunakan sarung ke Transmart, Kubu Raya. Ketika masuk, saya langsung menjadi pusat perhatian dan sorotan bagi para pengunjung lain. Tak lama kemudian, saya berpapasan dengan seorang bapak-bapak yang kemudian berkata kepada saya “habis sunat, ya, Dek?“. Saya hanya terdiam dan senyum tidak enak.


Sejak saat itu, saya sadar bahwa sarung sudah sangat asing di mata orang zaman sekarang. Tetapi, hal itu tidak membuat saya malu untuk tetap memakai sarung. Karena, menurut saya tidak ada alasan untuk merasa malu mengenakan sarung. Alih-alih merasa malu, saya justru merasa bangga mengunakan sarung, karena ia adalah identitas budaya yang patut dibanggakan. 


Ada beberapa hal yang membuat saya bangga dan tidak malu memakai sarung. Pertama, sarung adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Dari Aceh hingga Papua, sarung memiliki makna yang mendalam dan beragam. Sarung tidak hanya digunakan dalam konteks keagamaan, seperti saat beribadah, tetapi juga dalam berbagai acara adat, perayaan, bahkan kegiatan sehari-hari. Dengan mengenakan sarung, kita tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menunjukkan rasa hormat terhadap nenek moyang kita yang telah mewariskan budaya ini.


Kedua, sarung menawarkan kenyamanan yang sulit ditandingi. Terbuat dari bahan yang ringan dan mudah dipakai. Selain itu, sarung sangat cocok digunakan untuk kita yang tinggal di iklim tropis Indonesia yang cenderung panas dan lembab.


Dalam suasana santai, sarung memberikan kebebasan bergerak yang tidak bisa ditawarkan oleh pakaian formal lainnya. Kenyamanan ini seharusnya menjadi alasan untuk merasa bangga, bukan malu. Mengapa kita harus mengorbankan kenyamanan demi mengikuti tren yang mungkin tidak sesuai dengan diri kita?


Ketiga, sarung juga memiliki makna spiritual dan sosial. Dalam banyak tradisi, sarung sering kali digunakan dalam aktivitas keagamaan, seperti salat (baik di rumah maupun di masjid). Sarung menjadi simbol kemudahan dan kerendahan hati. Ketika kita mengenakan sarung, kita diingatkan untuk tetap merendahkan hati dan menghormati sesama. Sarung juga seringkali menjadi bagian dari momen kebersamaan, seperti saat berkumpul dengan keluarga atau teman. Dalam suasana santai, sarung menjadi “jembatan” untuk mempererat tali silaturahmi. 


Tapi sayangnya, di zaman sekarang, banyak generasi muda yang mulai melupakan nilai-nilai yang terkandung dalam sarung. Banyak yang lebih memilih pakaian modern yang dianggap lebih trendi dan praktis. Hal ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk mengedukasi generasi muda untuk melestarikan budaya, termasuk sarung.


Kita perlu menunjukkan bahwa sarung bukan hanya sekedar kain “kuno” yang dianggap tidak berarti sehingga kita lupakan begitu saja. Lebih dari itu, justru sarung merupakan bagian dari identitas dan jati diri, yang seharusnya membuat kita bangga memakainya, bukan malu.


Sebagai penutup, saya merasa sangat bangga dengan sarung. Karena, kain yang satu ini bukanlah sekedar pakaian untuk menutup badan, tetapi juga simbol dari kekayaan budaya, nilai-nilai luhur, dan identitas bangsa. Mari kita lestarikan dan banggakan sarung sebagai warisan budaya yang harus dijaga.


Dengan mengenakan sarung, kita tidak hanya menghormati tradisi, tetapi juga menunjukkan cinta dan kebanggaan kita terhadap budaya Indonesia. Sarung adalah bagian dari kita, dan sudah saatnya kita melestarikan kembali penggunaannya dan menjadikannya sebagai salah satu kebanggaan yang tak lekang oleh waktu.


*Oleh: Rizki Darsono Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAIN Pontianak


*Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co


*Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co 



×
Berita Terbaru Update