Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. (Dok. Ybs) |
Di berbagai platform media sosial, netizen
dari berbagai latar belakang mengaitkan dua tragedi ini untuk menyoroti
perbedaan besar dalam perhatian dan respons dunia internasional. Kebakaran di
Los Angeles, meskipun menghancurkan dan menelan korban jiwa jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan Gaza, namun mendapatkan simpati global yang luar biasa,
dengan sorotan media yang intens dan aliran bantuan yang cepat dari berbagai
pihak. Sebaliknya, kehancuran di Gaza, yang menelan puluhan ribu korban jiwa
dan menyebabkan penderitaan yang jauh lebih mendalam, sering kali terabaikan
atau dibungkus narasi politis yang menyulitkan hadirnya solidaritas universal.
Tak ayal, sejumlah netizen mengaitkan
kebakaran hebat yang melanda Los Angeles ini sebagai semacam
"balasan" atas dukungan Amerika Serikat terhadap tindakan “genosida”
Israel di Gaza. Mereka menilai bahwa bencana alam ini menjadi simbol karmic
atau balasan bagi Amerika Serikat yang selama ini mendukung kebijakan militer
Israel yang menghancurkan Gaza. Dalam pandangan mereka, kebakaran yang
merenggut belasan nyawa dan menghancurkan ribuan bangunan ini dipandang sebagai
peringatan yang tak terelakkan, sebagai respons alam terhadap ketidakadilan dan
ketimpangan yang dialami oleh warga Gaza yang terus menderita akibat serangan
militer Israel yang mendapat dukungan dari Washington
Kebakaran di Los Angeles: Bencana Alam
dalam Lanskap Perkotaan
Los Angeles, salah satu kota terbesar di Amerika Serikat, kini menjadi saksi kehancuran akibat kebakaran hebat yang melanda kawasan itu pada Januari 2025. Lebih dari 40.000 hektar lahan terbakar, sekitar 16 nyawa melayang, dan lebih dari 12.000 bangunan hancur. Kebakaran ini, menurut berbagai media yang melaporkan, dipicu oleh kondisi cuaca ekstrim dan kombinasi perubahan iklim dan kekeringan. Tak hanya itu, arus urbanisasi yang masif di Los Angeles yang menyebabkan pertumbuhan wilayah permukiman hingga ke area hutan atau perbukitan, yang dikenal sebagai wildland-urban interface, juga ditengarai sebagai salah satu faktornya. Lokasi ini lebih rentan terhadap kebakaran karena dekat dengan vegetasi kering yang mudah terbakar.
Dalam hal ini, terlihat kebenaran dari teori
ekologi sosial Murray Bookchin. Menurut teori ini, bencana seperti kebakaran
hutan bukan hanya sekadar fenomena alam, tetapi juga hasil dari
ketidakharmonisan antara manusia dan lingkungan. Di Los Angeles, ekspansi urban
yang masif tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis memperparah dampak
kebakaran. Penebangan hutan untuk pembangunan, konsumsi energi yang tidak
berkelanjutan, dan perubahan iklim yang dipercepat oleh aktivitas manusia semuanya
berkontribusi pada tragedi ini.
Meski begitu, kota ini memiliki
infrastruktur tangguh dan dukungan asuransi yang memungkinkan warga untuk pulih
dengan cepat. Bantuan dari pemerintah, pemadam kebakaran, dan organisasi
internasional mengalir dengan cepat. Media global secara intensif melaporkan
tragedi ini. Dunia internasional-pun turut menunjukkan solidaritas,
memperlihatkan bagaimana tragedi di negara maju sering kali memancing empati
global yang kuat
Kehancuran Gaza: Konflik Berulang dalam
Bayang-bayang Penindasan
Di sisi lain, Gaza menghadapi tragedi yang jauh lebih
kelam. Serangan militer Israel yang terus berlanjut telah menghancurkan wilayah
ini, telah merenggut puluhan ribu nyawa, dan ratusan ribu warga terpaksa meninggalkan
Gaza dalam keadaan yang hampir tak manusiawi. Bahkan Biro Statistik Pusat Palestina (PCBS) memperkirakan, populasi
di Gaza mengalami penurunan drastis sejak dimulainya serangan Israel di wilayah tersebut. Infrastruktur vital
seperti rumah sakit, sekolah, dan sistem air bersih hancur, membuat
rekonstruksi menjadi hampir mustahil di tengah blokade yang melumpuhkan ekonomi
Gaza.
Apa yang terjadi di Gaza saat ini
benar-benar membuktikan apa yang oleh kalangan Marxian disebut sebagai pendindasan
struktural. Dalam perspektif Marxian, konflik dan
genosida di Gaza merupakan bentuk dominasi politik, ekonomi, dan militer oleh kelompok atau struktur yang
memiliki kekuatan lebih besar,
yakni Israel. Ketimpangan struktur kekuasaan antara Israel dan Palestina
mencerminkan pola dominasi yang terjadi dalam sistem kapitalis global, di mana
kelompok yang lebih kuat memanfaatkan dan merebut sumber daya dari kelompok yang lebih lemah. Kasus Gaza juga syarat dengan terjadinya dehumanisasi dan ideologi.
Hal ini terlihat dengan banyaknya narasi negatif yang sering digunakan untuk
mendiskreditkan perjuangan Hamas dan warga Gaza, sehingga menciptakan
justifikasi ideologis untuk tindakan represif, termasuk genosida. Proses ini
melibatkan dehumanisasi terhadap pejuang Hamas dan warga Gaza, dan menjadikan
mereka "musuh" yang sah untuk dihancurkan demi melanggengkan
kekuasaan
Namun sayangnya, respons dunia terhadap
tragedi kemanusiaan ini sangat berbeda. Meski banyak negara dan organisasi
kemanusiaan mengecam tindakan Israel, namun dukungan konkrit untuk Gaza sering
kali terhambat oleh tekanan politik, terutama dari negara-negara kuat seperti
Amerika Serikat yang secara konsisten membela Israel. Media internasional, yang
berperan penting dalam membangun opini publik, sering kali membingkai konflik
di Gaza sebagai isu politik yang kompleks, sehingga mengaburkan dimensi
kemanusiaannya.
Ketimpangan dalam Perhatian dan Respons
Global
Kebakaran di Los Angeles dan kehancuran di Gaza menunjukkan perbedaan besar dalam perhatian dunia. Terdapat ketimpangan mencolok antara dua persitiwa ini. Apabila hal ini dilihat dari perspekti teori world system Immanuel Wallerstein, maka dapat dipahami bahwa ketimpangan ini merupakan ketimpangan antara wilayah core dan periphery sebagai imbas dari hubungan global. Dalam teori world system, negara-negara maju seperti Amerika Serikat berada di pusat (core), sementara wilayah seperti Gaza berada di pinggiran (periphery). Peristiwa yang terjadi di pusat cenderung mendapatkan perhatian lebih besar karena dianggap berdampak langsung pada stabilitas global. Sebaliknya, tragedi di pinggiran sering kali dianggap sebagai isu lokal yang tidak memerlukan perhatian mendesak.
Liputan media juga memperkuat ketimpangan
ini. Tragedi di Los Angeles digambarkan dengan narasi kemanusiaan yang kuat,
menampilkan kisah heroik dan solidaritas warga. Sebaliknya, tragedi di Gaza
sering kali dipolitisasi, dengan fokus pada narasi konflik dan keamanan,
sehingga mengalihkan perhatian dari penderitaan warga sipil.
Refleksi Akhir: Solidaritas dan Kemanusiaan
yang Terabaikan
Dua tragedi ini membuka mata kita terhadap ketimpangan global dalam cara dunia memandang penderitaan manusia. Kebakaran di Los Angeles, meski memilukan, mendapat perhatian dan dukungan penuh dari berbagai pihak, memungkinkan proses pemulihan yang cepat. Sebaliknya, kehancuran di Gaza terus berlangsung tanpa solusi yang jelas, meninggalkan luka yang mendalam pada masyarakatnya.
Kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar:
apakah nilai-nilai kemanusiaan dan nyawa manusia berbeda tergantung pada letak
geografis terjadinya tragedi ? Dunia perlu mengevaluasi kembali prioritasnya,
memusatkan perhatian pada solidaritas global yang adil, dan memastikan bahwa
setiap tragedi, di mana pun terjadi, mendapat respons yang setara berdasarkan
nilai kemanusiaan, bukan kepentingan politik atau ekonomi semata.
*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.
*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Naskah dikirim ke alamat e-mail: soearamedianasional@gmail.com
*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co