Notification

×

Iklan

Iklan

Misteri Pemagaran Laut Tangerang: Siapa yang Bermain di Balik Layar?

Sabtu, 11 Januari 2025 | 08.48 WIB Last Updated 2025-01-11T02:44:29Z

Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
OPINI.CO, PONTIANAK - Dalam beberapa waktu belakangan, pemagaran laut sepanjang kurang lebih 30 kilometer di pesisir Tangerang telah menjadi sorotan publik. Pagar bambu yang berdiri kokoh membentang di perairan pesisir 16 desa ini bukan hanya menghalangi akses nelayan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar: Siapa yang berada di balik aksi ini? 


Hingga kini, identitas pelaku masih menjadi misteri, dan bahkan pemerintah  dengan segala perangkatnya "tidak berhasil" mengidentifikasi aktor utama di balik pemagaran.  Lambatnya respons pemerintah juga menimbulkan spekulasi bahwa ada kekuatan besar yang bermain di balik layar.


Kasus ini, menurut saya, menarik untuk didekati melalui dua pendekatan besar; kolaborasi institusional- korporasi dan kendali wilayah oleh aktor bayangan. Kedua perspektif ini memberikan gambaran bagaimana kepentingan ekonomi, kekuasaan, dan manipulasi sistem bekerja untuk menguasai wilayah strategis seperti pesisir Tangerang.


Kolaborasi Institusional-Korporasi: Kepentingan Ekonomi di Balik Pagar Laut


Tidak dapat disangkal bahwa wilayah pesisir Tangerang adalah area yang sangat strategis. Letaknya yang dekat dengan ibu kota dan potensinya untuk proyek reklamasi menjadikannya incaran bagi perusahaan besar, terutama yang bergerak di bidang properti dan pariwisata. Di sinilah pendekatan adanya kolaborasi atau bahasa vulgarnya "kolusi" institusional-korporasi menemukan relevansinya.


Pembangunan pagar sepanjang +-30 kilometer tentulah membutuhkan dana besar, sumber daya logistik yang masif, dan perencanaan matang. Oleh sebab itu, sangat kecil kemungkinan hal ini dilakukan oleh individu atau kelompok kecil. Dugaan bahwa korporasi besar berada di balik aksi ini pun menguat. Namun, jamak diketahui, korporasi besar tidak akan bisa bergerak tanpa “restu” dari institusi atau pihak pemerintah. Dalam banyak kasus serupa, perusahaan besar sering kali bekerja sama dengan pemerintah, baik secara terang-terangan maupun melalui jalur informal, untuk memuluskan agenda mereka.


Kolaborasi ini bisa berbentuk kesepakatan diam-diam. Institusi berwenang mungkin saja menutup mata terhadap aktivitas ilegal ini dengan harapan mendapatkan keuntungan ekonomi di kemudian hari, seperti pajak, investasi, atau perluasan wilayah strategis. Namun, konsekuensinya, masyarakat kecil seperti nelayan menjadi korban. Mereka kehilangan akses ke sumber daya laut, dan mata pencaharian mereka terancam.


Dalam banyak sumber disebutkan bahwa temuan adanya pemagaran laut sudah mencuat sejak Agustus 2024, saat itu panjangnya baru 7 Kilometer. Namun langkah konkrit pemerintah dan penyegelan baru dilakukan pasca berita ini viral di berbagai platform media sosial.


Lambatnya investigasi pemerintah terhadap kasus ini semakin memperkuat kecurigaan publik. Meski kasus ini telah mencuri perhatian publik, belum ada ucapan tegas yang disampaikan untuk mengungkap siapa pelaku utama di balik pemagaran tersebut. Apakah ini pertanda bahwa ada pihak-pihak yang dilindungi di tingkat atas ? Biarkan publik yang menilainya


Aktor Bayangan: Menguasai Wilayah dengan Cara Tersembunyi


Teori aktor bayangan mengacu pada konsep bahwa ada kekuatan atau individu tertentu yang beroperasi di balik layar untuk mengontrol atau memengaruhi suatu wilayah atau komunitas tanpa terlihat secara langsung. Dalam konteks ini, "bayangan" merujuk pada cara kerja yang tersembunyi, tidak langsung, dan sering kali sulit dideteksi oleh publik.


Dalam teori ini, aktor bayangan adalah pihak-pihak yang bekerja di balik layar untuk menguasai wilayah strategis tanpa jejak formal. Mereka bisa saja perantara yang bertindak atas nama entitas besar seperti perusahaan atau individu dengan kekuatan ekonomi tinggi.


Pemagaran laut di Tangerang menunjukkan pola kerja yang khas dari aktor bayangan. Pagar yang terbuat dari bambu terlihat sederhana, tetapi pembangunannya melibatkan perencanaan dan pengorganisasian yang rapi. Warga lokal yang dilibatkan dalam pemasangan pagar hanya menerima bayaran kecil, sekitar Rp100.000, dan tidak tahu siapa yang memberi perintah. Ini adalah cara klasik aktor bayangan untuk menghindari jejak hukum, dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal yang tidak paham akan skala besar proyek ini.


Tujuan utama dari aktor bayangan ini kemungkinan besar adalah mengamankan klaim atas wilayah strategis sebelum langkah legal diambil. Mereka menciptakan “kendali de facto,” di mana wilayah tersebut sudah dikuasai secara fisik sebelum legalitas formal dimiliki. Hal ini sering dilakukan untuk memanfaatkan celah hukum dan kurangnya pengawasan di wilayah perairan yang luas seperti Indonesia.


Simbiosis Dua Teori: Mengapa Pemerintah Tampak Ragu Bertindak?


Dalam kasus ini, teori kolaborasi institusional-korporasi dan kendali wilayah oleh aktor bayangan tidak harus berdiri sendiri. Keduanya bisa bekerja secara simbiosis. Aktor bayangan mungkin bertindak sebagai eksekutor di lapangan, sementara perusahaan besar atau pemodal kuat mendanai proyek tersebut. Di sisi lain, bisa saja, pihak "institusi yang berwenang" memberikan perlindungan politik dengan tidak mengambil tindakan tegas atau membiarkan investigasi berjalan lambat.


Lambatnya respons pemerintah dalam kasus ini mengkhawatirkan banyak pihak akan adanya konflik kepentingan. Jika pemerintah benar-benar ingin melindungi masyarakat, seharusnya langkah tegas sudah diambil sejak awal. Namun, kenyataannya, nelayan tetap menjadi korban, dan identitas pelaku utama masih menjadi teka-teki.


Menyingkap Kebenaran: Apa yang Harus Dilakukan?


Kasus ini adalah ujian besar bagi pemerintah. Jika benar ada kolusi atau keterlibatan aktor bayangan, ini mencerminkan betapa lemahnya penegakan hukum di sektor kelautan Indonesia. Pemerintah harus segera menyelesaikan kasus ini dengan transparan dan akuntabel.


Pertanyaannya kini adalah: apakah pemerintah memiliki keberanian untuk melawan kepentingan besar yang mungkin terlibat, atau akankah kasus ini menjadi salah satu dari banyak peristiwa di mana masyarakat kecil kembali menjadi korban tanpa keadilan?


Hanya waktu yang dapat menjawab, tetapi masyarakat memiliki hak untuk terus menuntut kebenaran dan keadilan. Pagar bambu mungkin tampak sederhana, tetapi misteri di baliknya adalah cerminan kompleksitas politik, ekonomi, dan kekuasaan di Indonesia.


*Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata. Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Naskah dikirim ke alamat e-mail: soearamedianasional@gmail.com


Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co


Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co



×
Berita Terbaru Update