![]() |
Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. (Dok. Buhori) |
Hal ini sangat wajar, mengingat Indonesia dan Palestina memiliki hubungan yang sangat kuat. Tidak hanya berdasarkan kesamaan identitas keagamaan antar kedua negara, _mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun, menilik sejarah dan dinamika politik global, relasi kedua bangsa ini memiliki fondasi yang jauh lebih kompleks dan multidimensional, mencakup dimensi historis, kemanusiaan, politik luar negeri, serta komitmen terhadap prinsip-prinsip anti-kolonialisme dan penegakan hukum internasional.
Namun, dalam beberapa aksi solidaritas tersebut, seperti dalam aksi-aksi serentak yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia beberapa hari yang lalu, terdapat fenomena yang mengundang perhatian publik, yaitu munculnya simbol-simbol yang terkait dengan organisasi terlarang di Indonesia, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi yang telah dilarang oleh pemerintah sejak 2017 karena dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Fenomena ini mengundang kekhawatiran publik, terutama terkait upaya revitalisasi ideologi transnasional yang berpotensi menggerus nilai kebangsaan Indonesia.
HTI dan Legalitas di Indonesia
HTI merupakan bagian dari jaringan global Hizbut Tahrir, organisasi yang menganut paham khilafah dan menolak sistem demokrasi. Di Indonesia sendiri , HTI sudah sejak lama aktif melakukan kampanye ideologis melalui kajian, publikasi dan seminar-seminar di berbagai forum yang menyerukan pendirian negara Islam berbasis syariah. Bahkan organisasi ini sempat memiliki beberapa cabang komisariat di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Pada Juli 2017, pemerintah secara resmi membubarkan HTI melalui Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan atas UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang kemudian dikukuhkan oleh Putusan Mahkamah Agung No. 27 K/TUN/2019 yang menolak kasasi dari HTI dan memutuskan untuk membubarkannya.
Pembubaran ini didasari analisis mendalam Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan lembaga intelijen yang menyimpulkan bahwa HTI berpotensi memecah belah persatuan bangsa dan mengancam ideologi Pancasila.
Meskipun HTI sering mengklaim bergerak secara damai dan intelektual, namun sebagai organisasi transnasional, ideologi yang mereka bawa menolak prinsip nasionalisme, kebangsaan, dan demokrasi yang menjadi fondasi utama bangsa Indonesia. Hal inilah yang menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk membubarkan HTI dan melarang segala bentuk aktivitas serta simbol yang terkait dengannya di ruang publik.
Infiltrasi Simbol HTI dalam Aksi Solidaritas Palestina
Pada aksi solidaritas Palestina yang digelar di sejumlah kota besar Indonesia pada awal Februari 2025 ini, dilaporkan muncul atribut, spanduk, dan orasi yang mengandung narasi khas HTI, seperti seruan "penegakan khilafah" sebagai solusi konflik Palestina-Israel. Meski tidak secara eksplisit mencantumkan logo HTI, narasi tersebut identik dengan doktrin yang selama ini dipropagandakan organisasi tersebut.
Kuat ditengarai, simbol-simbol tersebut bukan sekadar representasi identitas agama (Islam), melainkan bagian dari strategi politik ideologis untuk menyusupkan gagasan khilafah dalam wacana publik. Hal ini patut diwaspadai mengingat HTI dikenal memiliki jaringan yang kuat dan kemampuan mobilisasi massa yang cukup signifikan. Mereka kerap memanfaatkan isu-isu global, seperti konflik Palestina, untuk menarik simpati umat Muslim dan memperluas pengaruh ideologis mereka.
Kader-kader mereka kerap melakukan "re-branding" kelompok-kelompok terlarang dengan menyamar dalam isu-isu populis seperti lingkungan, HAM, atau konflik internasional.
Lemahnya Pengawasan dan Perlunya Kewaspadaan Terhadap Ideologi Radikal
Munculnya simbol HTI dalam aksi solidaritas Palestina tentu menimbulkan kekecewaan, terutama terhadap aparat pemerintah dan penegak hukum, yang memiliki kewenangan dalam berbagai aktivitas publik. Kinerja aparat berwenang dalam hal ini patut dipertanyakan. Kesan bahwa pemerintah “kecolongan” dalam mengawasi dan mengantisipasi kebangkitan kembali HTI di ruang publik pastinya akan menjadi sorotan. Padahal, pemerintah memiliki perangkat hukum yang jelas untuk mencegah aktivitas organisasi terlarang, termasuk pengawasan terhadap penggunaan simbol-simbol yang terkait dengan ideologi anti-Pancasila.
Kelemahan dalam pengawasan ini dapat berdampak pada meningkatnya toleransi terhadap ideologi-ideologi yang mengancam keutuhan NKRI. Selain itu, hal ini juga menunjukkan adanya celah dalam mekanisme koordinasi antara aparat keamanan dan lembaga intelijen dalam mendeteksi dan mencegah infiltrasi ideologi radikal dalam aksi-aksi massa.
Fakta-fakta di atas menegaskan pentingnya kewaspadaan kolektif terhadap ideologi radikal yang berpotensi menggerogoti fondasi ideologis bangsa. Masyarakat perlu memahami bahwa solidaritas terhadap Palestina adalah bentuk empati kemanusiaan yang penting dilakukan, namun demikian tidak boleh disusupi agenda politik ideologis yang bertentangan dengan Pancasila.
Upaya deradikalisasi harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga dengan penguatan literasi ideologi di masyarakat. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran kritis terhadap bahaya ideologi transnasional yang dapat mengancam persatuan bangsa.
Selain itu, penegakan hukum terhadap penggunaan simbol organisasi terlarang, saya kira, perlu dilakukan secara tegas dan konsisten. Aparat keamanan harus meningkatkan kapasitas intelijen dan koordinasi lintas sektor untuk mendeteksi dini potensi kebangkitan organisasi terlarang di berbagai lini kehidupan masyarakat.
Last but not least
Relasi Indonesia-Palestina adalah cerminan identitas bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi keadilan, anti-penjajahan, dan kemanusiaan universal. Aksi solidaritas Palestina yang semarak di Indonesia adalah bentuk kepedulian Indonesia terhadap isu global, serta bukti eratnya relasi antar kedua negara ini.
Namun demikian, infiltrasi simbol dan narasi HTI di dalamnya merupakan tamparan bagi upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas ideologi bangsa. Oleh sebab itu, masyarakat perlu kritis terhadap muatan politis yang disisipkan dalam gerakan kemanusiaan, sementara negara harus konsisten menegakkan hukum terhadap kelompok yang berusaha merongrong Pancasila.
*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.
*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.
*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.