Notification

×

Iklan

Iklan

Eksistensi Islam Masa Kini: Mengapa Islam Terasa begitu Asing?

Minggu, 16 Februari 2025 | 13.45 WIB Last Updated 2025-02-16T07:04:52Z

Najmi Al-Mujahidah Mahasantri Ma'had Ronggowarsito UIN Raden Mas Said Surakarta. (Dok. Najmi) 

OPINI.CO, SURAKARTA - Akhir-akhir ini kita dapat melihat fenomena yang semakin umum terjadi di kalangan Masyarakat muslim. Islam sebagaimana agama yang sudah lama menjadi bagian dari identitas budaya dan spiritual di mayoritas negara di dunia ini mulai terasa asing. Bahkan hal ini terjadi diantara penganutnya sendiri. Hal ini sebenarnya bukanlah tentang ajaran agama yang berubah, namun lebih tepatnya pada perubahan sikap dan persepsi Sebagian besar Masyarakat terhadap praktik menjalani kehidupan yang seharusnya bahkan merupakan suatu kewajiban dan menjadi hal yang biasa bagi penganut muslim itu sendiri.


Salah satu contohnya adalah pandangan terhadap shalat lima waktu. Shalat, yang memang merupakan kewajiban dasar bagi setiap muslim, dan juga merupakan salah satu penghubung seorang hamba kepada tuhannya. Namun dalam kondisi sosial saat ini, orang yang tidak pernah meninggalkan shalat wajib ini sering kali dianggap “shaleh” seakan-akan mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasaatau tidak umum. Padahal, dalam islam, shalat lima waktu bukanlah ukuran keshalihan yang luar biasa, akan tetapi sebuah kewajiban yang sangat mendasar. Hal ini memperlihatkan betapa rutinitas ibadah wajib yang sebenarnya standar sudah menjadi sesuatu yang jarang ditemui bahkan dipuja-puja seolah tidak semua muslim dapat melakukannya.


Contoh lain yaitu kebiasaan mengucap “astaghfirullah atau masyaallah” sebagai reaksi terhadap situasi tertentu. Dalam islam, mengucapkan istighfar apabila kaget atau masyaallah Ketika terpukau seharusnya merupakan suatu hal yang lumrah. Namun, melihat kondisi Masyarakat saat ini menunjukkan bahwa banyak orang lebih akrab dengan ucapan-ucapan tidak pantas seperti “an**r”,”a*j*y”, atau kata-kata kasar lainnya sebagai bentuk reflek mereka. Sehingga ketika seseorang mengucapkan istighfar secara reflek, hal itu sering dianggap sebagai suatu hal yang luar biasa. Tidak jarang orang yang biasa seperti itu langsung dipanggil dengan sebuatan “bu nyai,” atau “ustadzah”. Padahal dalam islam, mengingat Allah dan menjaga lisan dari perkataan buruk merupakan hal seharusnya menjadi kewajiban dan kebiasaan sehari hari bagi setiap muslim.


Fenomena ini tak hanya terjadi dalam hal ibadah dan perkataan, namun juga pada pandangan cara berpakaian, terutama bagi Muslimah. Yaitu ketika ada seorang Muslimah yang menggunakan gamis atau hijab yang cukup menutup dada, walaupun tidak terlalu lebar, mereka sering kali di panggil  "spek yali-yali”, seolah sindiran yang menunjukkan bagaimana standar berpakaian syar’i dianggap berlebihan atau tidak umum di Masyarakat. Padahal, seseorang yang menggunakan gamis atau hijab seperti itu pun belum tentu memenuhi ketentuan berpakaian seorang Muslimah yang seharusnya, seperti tidak membentuk tubuh atau tidak menggunakan bahan yang tembus pandang. Hal yang seperti ini saja sudah dianggap seprti itu, apa lagi yang memang telah memenuhi ketentuan islam? Seakan hal tersebut sangat tidak umum di zaman kita saat ini.


Kemudian, ketika seseorang telah dianggap "shaleh” karena menjalankan kewajiban dasar agama, muncullah ekspektasi yang sangat tidak realistis terhadap orang tersebut. Sehinga apabila orang yang sudah dianggap “sholeh” ini melakukan kesalahan, Masyarakat cenderung menghakiminya secara tidak adil, seolah-olah kesalahan itu tidak boleh terjadi. Sebuah kesalahan kecil saja sering dibesar-besarkan, dan kekecewaan Masyarakat cenderung berlipat ganda, padahal dalam islam dijelaskan bahwa semua manusia adalah makhluk yang bisa berbuat khilaf atau tergelincir dan mereka selalu memiliki kesempatan untuk memperbaiki dan bertaubat.


Kondisi ini justru dapat menjauhkan orang-orang dari agama, yaitu ketika seseorang merasa terbebani oleh ekspektasi berlebihan dari Masyarakat, maka Sebagian dari mereka bisa saja memilih menyembunyikan ibadahnya atau mengurangi kebiasaan menjalani kewajiban tersebiut dan membaur sesuai kebiasaan yang ada di lingkungannya. Seperti yang seringkali kita lihat, banyak orang yang telah keluar dari lingkungan Islami seperti pesantren, yang memang sudah terbiasa menjalankan ketentuan dalam islam, mereka memilih mengikuti  tren-tren yang ada di Masyarakat seperti mulai menunda shalat, memendekkan hijab, berpakaian yang kurang memenuhi ketentuan agama, dan berkata kasar.


Sebagai seorang muslim, kita seharusnya bangga dengan identitas kita.  "Thuba lil ghurabaa" (beruntunglah orang-orang yang terasing) . Dalam konteks Islam, istilah ini merujuk pada individu yang tetap berpegang pada ajaran agama di tengah masyarakat yang rusak atau jauh dari nilai-nilai Islam. Konsep ini dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: 


 بدأ الإسلامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ 

"Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing" (HR. Muslim no. 145).


Dalam konteks ini, "ghurabaa" merujuk pada orang-orang yang mempertahankan iman dan nilai-nilai Islam di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang cenderung mengabaikan prinsip-prinsip agama. Mereka adalah orang-orang yang tetap berpegang pada kebenaran dan tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif masyarakat. Kita juga harus memahami bahwa menjadi "ghurabaa" bukan berarti kita harus menyendiri atau mengisolasi diri dari masyarakat. Sebaliknya, kita harus terus berdakwah dan menyebarkan kebenaran Islam dengan bijak dan santun.


Dalam Al-Qur'an, Allah SWT telah berfirman: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 36)


Oleh karena itu, marilah kita tetap berpegang pada kebenaran Islam dan menjadi teladan yang baik bagi masyarakat sekitar kita. Kita harus bisa meyakinkan diri kita untuk tidak merasa malu ataupun takut untuk tetap mempertahankankan nilai-nilai islam yang semakin terasa asing. 


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.


*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.


*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.


*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.


*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.







×
Berita Terbaru Update