Notification

×

Iklan

Iklan

Kenakalan Pelajar; Tanggung Jawab Sekolah atau Orang Tua?

Selasa, 04 Maret 2025 | 10.28 WIB Last Updated 2025-03-04T03:33:28Z

Buhori Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. (Dok. Istimewa) 
OPINI.CO, PONTIANAK - Belakangan ini, kejadian tawuran antar remaja tanggung dari kalangan pelajar semakin marak terjadi di sekitaran Kota Pontianak. Bahkan fenomena ini tidak lagi terbatas pada kawasan perkotaan, tetapi mulai merambah ke wilayah perkampungan. Tak ayal, situasi ini menciptakan keresahan di masyarakat. 


Tawuran yang awalnya dipicu oleh perselisihan antar individu atau kelompok kecil di kalangan pemuda tanggung ini,  berikutnya dapat berkembang menjadi aksi kekerasan yang lebih terorganisir, dengan melibatkan rekan-rekan seangkatannya. Kondisi ini menunjukkan bahwa kenakalan remaja bukan sekadar masalah individu, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik  faktor sosial, keluarga, dan lingkungannya, termasuk lingkungan pendidikan.   


Kenakalan remaja bukan fenomena baru. Banyak penelitian telah mengungkap faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku menyimpang ini. Secara umum, faktor penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi dua: intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup aspek psikologis individu, seperti kontrol diri dan identitas diri. Sementara itu, faktor ekstrinsik melibatkan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial.


Data dari UNICEF (2023) menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja di dunia mengalami tekanan sosial yang berujung pada perilaku menyimpang. Studi lain oleh BPS (2022) mengungkapkan bahwa kenakalan remaja di Indonesia meningkat 15% dalam lima tahun terakhir, dengan faktor utama berasal dari lingkungan pertemanan dan kurangnya pengawasan orang tua. Melihat data-data tersebut, maka masih terbilang relevan apa yang dinyatakan oleh teori kontrol sosial Travis Hirschi yang menegaskan bahwa individu cenderung melakukan penyimpangan ketika keterikatan sosial mereka melemah.


Kenakalan Pelajar, Tugas Siapa Menanganinya?


Setiap kali melihat fenomena kenakalan remaja yang terjadi di kalangan pelajar, sering kali terdengar pertanyaan-pertanyaan terkait ini tanggung jawab siapa? Pihak mana saja yang berperan untuk mengatasi kenakalan mereka ini ?


Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul akibat keresahan tersebut, maka perlu kita dudukkan  secara proporsional. Kenakalan remaja bukan persoalan yang timbul secara simultan, namun ia dilatarbelakangi oleh berbagai variabel yang kompleks. Oleh karena penyebabnya kompleks, maka solusinya juga tidak bisa parsial. Orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah harus mengambil peran aktif. Kontrol orang tua, lingkungan sekolah, serta keterlibatan sosial menjadi kunci utama dalam membentuk karakter remaja.


Orang tua memiliki peran vital. Waktu yang dihabiskan anak lebih banyak di rumah dibanding di sekolah, kecuali bagi mereka yang berada di lembaga pendidikan berbasis asrama seperti pesantren. Teori Belajar Sosial Albert Bandura menjelaskan bahwa anak belajar dari observasi dan interaksi dengan lingkungan terdekatnya. Jika anak terbiasa melihat kekerasan atau komunikasi yang buruk dalam keluarga, perilaku tersebut bisa ditiru. Maka tak salah jika dikatakan bahwa orang tua dan lingkungan keluarga merupakan pilar utama pendidikan moral anak.


Namun di sisi lain, pengawasan orang tua yang terlalu ketat (overprotective) juga dapat berdampak buruk. Remaja yang merasa terlalu dikekang cenderung mencari kebebasan dengan cara yang salah. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga harus berbasis keseimbangan—antara kedisiplinan dan kasih sayang.


Selain itu, institusi pendidikan sebagai wadah utama bagi peserta didik dalam memperoleh pengetahuan tidak dapat bersikap pasif dan abai terhadap permasalahan ini. Sebagai pusat pendidikan, sekolah tidak hanya berperan dalam mentransfer ilmu, tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk dan merubah perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik (change of behavior). Dalam teori pendidikan kritisnya, Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan harus berfungsi sebagai sarana emansipasi, membebaskan individu dari kebodohan, serta meningkatkan kesadaran sosial. Oleh karena itu, tenaga pendidik perlu merancang dan menerapkan inovasi pembelajaran yang adaptif sebagai strategi dalam menangani kenakalan remaja. Sebab, apabila metode pengajaran yang diterapkan tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik remaja, maka mereka berpotensi kehilangan motivasi belajar dan cenderung mencari aktivitas di luar jalur yang konstruktif.


Studi dari Kemendikbud (2021) menunjukkan bahwa 85% siswa yang terlibat dalam tawuran mengaku tidak tertarik dengan sistem pembelajaran di sekolah. Ini membuktikan bahwa sekolah harus mengembangkan inovasi dalam metode pembelajaran. Pendekatan-pendekatan pembelajaran aktif, seperti pendekatan berbasis experiential learning atau project-based learning dapat menjadi solusi agar siswa lebih terlibat aktif dalam proses belajar.


Selain dua pihak di atas, pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar dalam membangun ekosistem sosial yang mendukung perkembangan remaja. Melalui kebijakan pendidikan, program bimbingan konseling, hingga kampanye kesadaran sosial, pemerintah dapat membantu menekan angka kenakalan remaja. Hal ini salah satunya didasari dari Teori Strain Robert K. Teori  Merton ini menjelaskan bahwa ketimpangan sosial dapat menjadi pemicu utama perilaku menyimpang. Oleh karena itu, pemerataan akses pendidikan dan lapangan kerja bagi remaja sangat penting untuk mengurangi potensi kenakalan.


Pemerintah juga perlu meninjau ulang kurikulum pendidikan, memastikan bahwa sistem pembelajaran tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada penguatan karakter dan keterampilan sosial.


Belajar dari Film "Dangerous Minds": 


Melihat persoalan ini, saya jadi teringat dengan kisah pada Film Dangerous Minds (1995). Film yg diambil dari kisah nyata.


Film ini mengisahkan seorang guru Bahasa Inggris yang juga seorang mantan marinir  bernama LouAnne Johnson. Saat menjalani tugasnya sebagai guru, ia dihadapkan pada kelas penuh siswa "berandal" yang keras, suka memberontak, dan banyak di antara mereka berasal dari lingkungan geng serta kekerasan. 


LouAnne beranggapan bahwa menghadapi anak-anak dengan tipikal keras dan "berandal", pola pembelajaran yang hanya berorientasi pada kurikulum dan metode konvensional cenderung kurang efektif dalam mencapai hasil yang optimal. Oleh karena itu, ia mengadopsi pendekatan inovatif dengan mengombinasikan disiplin militer, empati, serta keterlibatan emosional dalam proses mengajar. Pendekatan ini terbukti menghasilkan dampak yang signifikan terhadap perkembangan peserta didik. Meskipun pada awalnya metode yang diterapkannya mendapat penolakan dari pihak sekolah, namun seiring waktu, strategi yang ia lakukan menunjukkan efektivitas yang tinggi dan memperoleh apresiasi luas.


Dalam konteks ini, saya berpendapat bahwa pihak sekolah (tanpa mengesampingkan peran pihak lain) perlu mengembangkan inovasi dalam mendidik peserta didik dengan karakteristik tersebut. Jika metode pembelajaran masih mengandalkan pola konvensional, kemungkinan besar mereka hanya akan menunjukkan kepatuhan di hadapan guru dan orang tua, sementara di luar pengawasan tetap berperilaku menyimpang.


Salah satu langkah strategis yang dapat diimplementasikan adalah menjalin kerja sama melalui Memorandum of Understanding (MoU) atau Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan TNI/POLRI untuk memberikan pendidikan langsung di sekolah secara rutin dan berkelanjutan. Kegiatan ini dapat diformulasikan dalam bentuk program ekstrakurikuler atau pendekatan lain yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.


Last, but not least,

Kenakalan remaja di kalangan pelajar adalah fenomena yang kompleks dengan banyak faktor yang saling terkait. Orang tua, sekolah, masyarakat, dan pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter remaja. Pendidikan yang efektif harus berorientasi pada pembentukan moral dan perilaku, bukan sekadar akademik.


Seperti yang ditunjukkan dalam Dangerous Minds, perubahan bisa dimulai dari satu individu yang peduli. Jika setiap pihak memainkan perannya dengan baik, kenakalan remaja dapat ditekan, dan generasi muda dapat berkembang menjadi individu yang lebih baik.


*) Kolom opini.co menerima tulisan opini atau karya sastra untuk umum. Panjang naskah opini maksimal 750 kata.


*) Sertakan: riwayat hidup singkat, nama akun medsos, beserta foto cakep, dan nomor telepon yang bisa dihubungi.


*)Naskah dikirim ke alamat e-mail soearamedianasional@gmail.com.


*)Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi opini.co.


*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang diterima apabila tidak sesuai dengan filosofi opini.co.

×
Berita Terbaru Update